Tentang Melepaskan
Hai. Selamat siang, selamat menikmati hari-harimu. Bersukalah.
Kali ini datang bukan dengan cerita seperti biasa.
Kali ini datang dengan perbincangan suatu malam, tentang melepaskan.
Perihal melepaskan memang bukan perkara mudah.
Tak semudah seperti apa yang akan kutuliskan, namun tak ada salahnya untuk direnungkan.
Suka tidak suka, pada akhirnya hanya kamu yang memutuskan.
Pernah suatu malam, belum lama pula.
Seseorang datang dengan hati bimbang.
Seseorang yang lama ku kenal dengan paras jelita.
Dia datang, membuka percakapan dengan segala tanya.
"Kamu pernah merasa bimbang ?"
"Pernah merasa ragu dengan apa yang kamu lakukan ?"
"Pernah merasa tak tahu harus berbuat apa kepada lelaki yang (dulu) kamu cinta ?"
"Pernah merasa ingin melupakan, namun tak ingin melepaskan ?"
Lalu dalam sekejap dia diam.
Menghela nafas yang seolah berat dalam dada.
Aku hanya bisa menatapnya, (masih) mencoba mengingat satu persatu tanya yang dia ajukan.
Dan pada akhirnya aku hanya mampu bertanya kembali padanya.
"Kenapa ?"
Lalu mulailah dia bercerita,
"Aku tak tau apa yang salah denganku, sudah satu bulan terakhir ini aku masih terus mencari kabarnya. Akupun tak mengerti dengan sikapnya, tiba-tiba berubah, begitu asing. Apa laki-laki selalu seperti itu?"
"Seperti itu, gimana?"
"Kamu tau kan? aku dan dia sepakat untuk mengakhiri semuanya, dan kami berjanji pada masing-masing, bahwa setelahnya kita - aku dan dia - akan tetap berteman baik. Tapi kenapa sekarang berbeda?"
"Mungkin, dia belum terbiasa. Semua ada waktunya. Butuh proses yang tak mudah."
"Iya aku tau, tapi kenapa dia begitu acuh. Bahkan untuk sekedar menyapa pun tak mau."
"Kamu sendiri ?"
Dia diam.
"Kamu sendiri, gimana ? sudah bisa untuk memulai menyapanya ?" tanyaku kemudian.
"Kenapa harus aku yang memulai ? Dia laki-laki, seharusnya dia yang lakukan itu dulu." jawabnya kemudian memalingkan pandangan keluar jendela.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikapnya.
"Kenapa ?" tanyanya.
"Kamu tak pernah berubah. Keras kepala. Apa salahnya kamu memulai menyapanya dulu ? Gengsi ?" sahutku.
"Bukan gitu, kan memang seharusnya laki-laki yang memulai semuanya lebih dulu." jawabnya tak mau kalah.
"Kalau begitu, apa gunanya emansipasi wanita ? apa-apa harus nunggu lelaki dulu." balasku
Dia hanya diam, bermain dengan cangkir coklat panas dihadapannya.
Seakan memikirkan pertanyaan yang ku berikan.
Semenit, dua menit dia masih tak bersuara, aku hanya bisa menatapnya.
Tak lama kemudian, dia minum coklat panasnya yang sedari tadi hanya dia mainkan dan menyandarkan badannya ke sofa.
Pertanda dia mulai tak tahu harus berbicara apa.
Kuputuskan untuk kembali berbicara, memecah keheningan.
"Aku tau, kamu seperti ini karena kamu merindukannya bukan? Tapi kamu terlalu enggan mengakuinya. Kamu terlalu sibuk memikirkan gengsi-gengsimu itu. Hingga akhirnya kamu uring-uringan sendiri, tahu bahwa dia tak merindukanmu."
Dia hanya menghembuskan nafas.
Meletakkan kembali cangkir yang sedari tadi dia genggam.
"Aku tak tahu. Aku hanya ..."
Air matanya tak terbendung kemudian.
"Sudahlah, tak perlu disesali. Mungkin kamu belum terbiasa tanpa dia. Melepaskan memang bukan perkara mudah. Semua butuh waktu, ada proses yang harus kamu jalani. Seperti saat ini. Menangislah jika dengan menangis membuat beban rindumu sedikit menguap."
Aku mendekatinya, mengusap punggung gadis jelita ini.
Mencoba menenangkannya.
Yang kemudian dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Masih menangis.
Maka kubiarkan dia larut.
Setidaknya dia tahu, dia tak benar-benar sendiri.
"Kamu masih ingat le ? Kamu pernah berkata, melepaskan adalah salah satu konsekuensi jika kita memutuskan untuk jatuh hati kemudian. Untuk bisa melepaskan dibutuhkan hati yang lapang, yang tak enggan untuk memaafkan.
Dibutuhkan kesabaran untuk kembali memulai hidup dari awal, seperti bayi yang masih belajar untuk berdiri. Harus merasakan jatuh namun tak mudah menyerah untuk kembali berdiri."
Aku menghela nafas, masih mengusap punggungnya yang belum berhenti menangis.
Ku raih cangkir coklat panas miliknya.
"Minumlah le. Hangatkan dulu hatimu. Tenanglah." ujarku
Dia menurutinya, diambilnya cangkir dari genggamanku.
Dia teguk perlahan coklat panasnya.
Lalu kembali bersandar, di bahuku.
"Kamu tau le ?"
Kali ini aku mencoba menggenggam tangannya, seolah memberikan kekuatan untuknya.
"Kamu perempuan paling kuat yang pernah aku temui. Karena itu aku percaya, seorang Alea akan mampu untuk berjalan kembali. Memaafkan perihal masa lalumu dengannya, membuang gengsi untuk mau memulai berdamai dengannya, melepaskan apa yang seharusnya dilepaskan. Yang perlu kamu ingat le, melepaskan bukan berarti kamu harus melupakannya. Melepaskan hanya perkara tentang mau meminta maaf, dan berjiwa besar untuk memaafkan."
Kini dia tersenyum.
"Terimakasih. Aku memang tak salah memilihmu sebagai sahabatku, karena aku tau, hanya kamu yang bisa menenangkanku, hanya dengan bersandar dibahumu aku tahu, bahwa aku akan baik-baik saja. Yang aku tak tahu, mengapa dulu aku mau melepasmu hanya untuk dia."
Lalu kami berdua hanya bisa saling tersenyum.
Masih menggenggam satu sama lain.
Menatap langit malam, dan larut dalam pikiran kami masing-masing.
0 comments :
Post a Comment