Cinta Sendirian

Monday, August 4, 2014

Cinta Sendirian


Aku (memang) bukan sebaik-baiknya perempuan dalam hidupmu.
Aku (hanya) seorang perempuan yang jatuh telak mencintai kamu.
Dan aku, perempuan yang paling egois untuk terus memperjuangkan kamu, meski aku tau, kamu memperjuangkan perempuan lain.
Maka, biarkanlah cinta menentukan takdirnya sendiri.

Entah bermula dari mana,
yang aku tau, aku suka melihatmu tertawa, manis.
Terutama bila aku tau, akulah penyebab tawa bahagiamu.
Entah sejak kapan tepatnya,
yang aku tau aku terlalu angkuh untuk ingin terus berada di dekatmu.
dan yang aku tau, aku tak suka melihat paras sedihmu.
Sepeti saat ini, saat kamu memintaku menemanimu menghabiskan secangkir kopi hitam kesukaanmu.

"Kenapa lagi kali ini ?" tanyaku membuka percakapan.
Dia menoleh, memaksakan senyum semanis mungkin.
Menghela nafas perlahan-lahan.
Tapi tak sepatah kata pun yang akhirnya keluar.

"Ray, everything's not okay, right ? Kenapa ?"
"Gak apa-apa, put."
"Gak usah boong, kaya aku baru kenal kamu kemarin sore. Cerita aja, itu juga kalau kamu mau."
"Susah ya punya sahabat macam kamu, pekaan."
"Ye.. daripada kamu, gak peka!" sahutku.
"Ha?"
"Eh, gak-gak. Udah, kamu kenapa ?"

Dia meneguk sebentar kopi yang telah dipesannya.
Berdehem sebantar, lalu mulai bercerita.

"Put, seandainya kamu mencintai seseorang tapi dia tak mencintaimu, apa yang kamu lakukan ?" tanyanya kemudian.

Aku terhenyak.
Hampir saja aku tumpahkan secangkir coklat panas yang sedang aku genggam.
Dan belum sempat aku menjawabnya dia sudah mulai lagi bertanya.

"Seandainya, kamu tau kamu hanya memperjuangkan cinta sendirian, apa kamu akan berhenti?"

Aku diam sejenak, menarik nafas dalam-dalam.
Lalu kubiarkan diriku larut menjawab pertanyaannya.

"Ray, tak perlu seandainya."
"Maksudmu?"
"Aku sudah merasakannya. Bahkan hingga saat ini."

Dia diam. Menatapku tak percaya.

"Aku serius Ray. Bertahun-tahun sudah aku mencintai lelaki ini. Bertahun-tahun sudah aku memperjuangkan cinta ini sendirian."
"Terus, kamu masih bertahan hingga saat ini ?"
"Iya."
"Kenapa?" tanyanya dengan wajah penasaran.
"Kamu tau, Ray? Terkadang apa yang kita lakukan tak pernah berakal. Seperti mencintai, tak pernah berlogika, hanya berasa. Pernah sekali waktu aku berhenti untuk tidak mencintainya, mencoba merelakan. Namun apa boleh buat, semesta masih tak mengijinkan. Hingga saat ini aku masih mencintainya, masih merasakan sakit saat tau dia mencintai perempuan lain."

Dia menatapku, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Kamu sudah coba bilang padanya, put?"
"Aku tak bisa, Ray."
"Kenapa? gengsi, karena kamu perempuan?"
"Bukan, Ray. Bukan gengsi, tapi aku tau, dia mencintai perempuan lain. Hingga aku takut, jika akhirnya aku mengatakan padanya, dia justru menjauh dariku. Maka biarkanlah Ray, cinta yang menuntun. Menentukan takdirnya sendiri."
"Kamu tau put, betapa beruntungnya lelaki yang kamu cintai sedalam ini. Kamu terlalu baik put untuk dia. Cobalah, bicara padanya put. Siapa tau dia sadar dan bisa menerimamu put. Kamu wanita cantik, baik tak salah jika orang tuamu memberimu nama Putri."
"Tapi Ray..."
"Jangan takut Put, jika dia memang takdirmu, maka dia akan bersamamu."

"Kalau bukan?"
"Yeee. Kamu bilang sama dia aja belum, gimana tau?" ucapnya diiringi tawa khasnya.

Aku diam.
Meneguk segelas coklat panasku kemudian.
Menimbang, apakah benar ini saatnya.

"Udah jangan kebanyakan mikir."

Aku tersenyum.

"Ray."
"Iya, Put."
"Kamu mau tau gak siapa lelakinya?"
"Eh iya, kamu kan belum pernah cerita. Emang siapa ? laki-laki yang bisa membuat sahabat terbaik dan tercantikku ini jatuh cinta sendirian?" tanyanya dengan gelak canda seperti biasa.
"Kamu. Ray. Kamu lelakinya."

Dia berhenti tertawa. Diam. Akupun.
Kami hanya bisa saling menatap. Tanpa berbicara.
Karena itulah akhirnya aku memutuskan untuk bangkit, pergi meninggalkan dia sendirian.
Seperti yang dia bilang.
Jika memang dia takdirku, maka dia akan bersamaku.

0 comments :

Post a Comment