Perbincangan Saat Senja

Saturday, August 9, 2014

Perbincangan Saat Senja


Suatu senja di kedai kopi seperti biasa.
Aku duduk diam, sendiri.
Menikmati indahnya pesona matahari terbenam.
Lalu tak lupa aku berucap syukur dalam hati.
Masih bisa menikmati waktu-waktu seperti ini.
Namun tak berapa lama, entah darimana seseorang tiba-tiba datang menghampiri.
Menarik kursi, duduk, sembari menyulut sebatang rokok yang dia genggam.
Perlahan menghembuskan asapnya kemudian.

"Gak bosen ?" tanyanya, membuka percakapan.

Aku menoleh, melihat sosok disampingku kini.

"Kamu sendiri ? Gak bosen sama rokok mulu ?" tanyaku balik.

"Kamu, gak pernah berubah. Ditanya selalu balik nanya."

Aku hanya mengulas senyum.
Kembali menikmati indahnya senja.
Dia masih sibuk menikmati rokoknya.
Tak berapa lama seorang pramusaji datang, menawarkan menu untuk kami berdua.
Seperti biasa, masih seperti dulu.

"Kopi hitam tanpa gula. Kenapa ?" tanyaku pada akhirnya

"Kamu sendiri? Kenapa harus coklat manis panas?"

"Sejak kapan kamu menjawab dengan balik nanya ?"

"Sejak kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku dengan serius." ucapnya kemudian tersenyum.

Aku diam, tersenyum kecut.
Lalu kupilih untuk memejamkan mata, menarik dan menghembuskan nafas perlahan.

"Kamu tau, kenapa kopi diciptakan pahit?" tanyanya.

"Karena kalau manis, namanya gula." jawabku masih memejamkan mata.

"Kalau itu mah anak kecil juga tau. Bukan itu maksudku."

Aku membuka mata kini, menoleh kearahnya.

"Lalu ?" tanyaku penasaran.

"Kadang kita harus merasakan pahit, supaya kita tau bahwa hidup tak sekedar manisnya saja. Sama seperti sakit, kita harus merasakan sakit karena dengan sakit kita bisa bersyukur saat kita masih bisa berdiri sehat." ujarnya diiringi dengan hembusan asap rokok dari dalam mulutnya.

Tak berapa lama pramusaji datang.
Memberikan pesanan yang telah kami pesan, lalu kembali berlalu.

"Kamu, apa kabar ?" tanyaku pada akhirnya.

"Baik. Kamu sendiri ?"

"Seperti yang kamu lihat. Aku baik."

"Bahagiakah kamu kini, Nay ?"

"Harusnya, kamu tau jawabannya. Atau seharusnya kamu tanyakan itu pada dirimu sendiri. Bahagiakah kamu, membiarkan orang yang mencintaimu melihatmu bersama orang lain ?"

"Maaf, Nay. Aku.. Aku tau, aku salah."

"Tak perlu minta maaf."

"Tapi, Nay. Aku harus menjelaskannya."

"Tak perlu. Simpanlah alasannya untuk dirimu sendiri. Aku sudah bahagia meski tanpa kamu."

Dia diam. Meneguk secangkir kopi hitamnya.
Sama seperti coklat panas dalam cangkirku, senjapun kini perlahan mulai menghilang . Habis ditelan malam.

"Kamu tau kenapa senja ?"

Dia hanya menggeleng.

"Karena dengan senja aku belajar mengerti, bahwa masih ada hal yang indah meski hidup tak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Karena aku ingin seperti senja, mampu melepas pagi dengan keindahan dan menyambut malam dengan ketenangan. Seperti itulah aku ingin melepasmu, tanpa tangis dan duka yang berlebihan dan aku mau belajar menenangkan hati untuk menyambut datangnya penggantimu, yang mungkin akan jauh lebih baik."

Dia terdiam, menundukkan kepalanya.

"Sudahlah, Ras. Tak perlu merasa bersalah. Aku baik-baik saja." 

"Nay, maaf."

"Mungkin, sekali waktu minumlah coklat manis panas agar kamu mengerti bagaimana merasakan manis meski ada panas yang dirasakan. Agar kamu bisa belajar, bagaimana merasakan manisnya hidup, meski ada sakit didalamnya. Sudahi menyalahkan dirimu atas apa yang telah kamu lakukan padaku. Aku baik-baik saja dengan keputusanmu memilih perempuan lain. Aku baik-baik saja, tanpa kamu. Faras Dirgantara." ucapku sembari berdiri bersiap melangkah pergi.

Mungkin, sudah saatnya.
Pergi, melangkahkan kaki meninggalkan dia, yang telah memilih melangkahkan kaki, pergi bersama perempuan lain.
Mungkin, sudah saatnya.
Melepas pagi dan menerima malam hari dengan ikhlas hati.
Mungkin, sudah saatnya.
Ya. Sudah saatnya berlari tanpa harus menangis lagi.
 

0 comments :

Post a Comment